BERKAHNYA PARA PENUNTUT ILMU (10)
Sungai Citarum yang berada dibawah pesantren yang memisahkan antara dua bukit, airnya begitu jernih mengeluarkan suara gemuruh semakin menambah suasana pesantren menjadi meriah dan riang gembira karena disamping suara-suara santri yang sedang ngederes, menghafal, dan murojaah.
Tidak terkecuali dengan Rusman yang tidak terasa sudah duduk di kelas tiga Aliyah ini, tampak sedang murojaah atau mengulang pelajaran yang sudah lewat dipelajarinya. Dia dengan teman-teman sekamarnya, sudah dibiasakan dari awal masuk pesantren ini untuk selalu mengulang dalam setiap semnggu sekali. Dengan dibimbing oleh kakak kelasnya atau terkadang oleh ketua kamarnya yang selama ini selalu dikasih tanggung jawab untuk membimbing anggota kamarnya.
Suara Rusman dengan teman-temannya itu begitu nyaring dan jelas kedengaran bahwa mereka sedang murojaah hafalan juz tiga puluh Al-Qur’an. karena sudah menjadi peraturan dan keputusan pesantren ini bahwa untuk meluluskan santrinya pertama harus hafal juz tigapuluh, hafal nadom kitab imriti, sebuah kitab yang menjelaskan tentang grametika bahasa arab, dan ketiga bisa membaca kitab fikih fathul mu’in. Sebuah kitab fikih yang menjelaskan tentang cara ibadah, dan mualamah. Kemudian persyaratan terkahir adalah lulus dalam test ujian lisan dalam wawancara dengan menggunakan bahasa arab.
Empat persyaratan inilah yang harus dikuasai para santri untuk memiliki kartu kelulusan. Sehingga mereka betul-betul harus rajin mengulang atau murojaah pada tahun terakhir ini. terlepas mau melanjutkan kemana saja para santri ini ketika keluar dari pesantren.
Ketika Rusman bersama teman-temannya sedang asi-asiknya mengulang pelajaran, tiba-tiba terdengar suara pengumuman.
Berita panggilan, kepada saudara Rusman segera menghadap ke yang terhormat pak kiai. Suara pengumuman itu sangat nyaring.
Rus ! kamu dipanggil tuh, kamu melanggar yah? tanya Rafik, teman akrab Rusman sambil merapikan buku-bukunya.
Iyah, ana semalam keluar komplek, nyari obat sakit perut. Jawab Rusman atas pertanyaan temannya itu.
Setelah menaroh buku dan kitab yang baru dikaji, Rusman pun langsung menuju rumah pak yai dengan penuh rasa cemas dan jantung degdegan. Maklum, Karena pak kiai yang memanggil ini, salah satu kiai yang bertugas menghukum santri yang melanggar peraturan. Disamping itu pak kiai ini penuh dengan kewibawaannya yang membuat rasa takut para santri. mungkin karena pak kiai ini pernah lama tinggal di negeri Arab Saudi sewaktu kuliah di universitas Ummul Qura, Makkah Al-Mukarromah. Jadi logat bahasa arab dan intonasi dalam setiap berbicara dengan santrinya, seperti orang arab berbicara. Kedengarannya marah-marah dan menegangkan, tetapi ternyata tidak. itu hanya salah satu cara untuk memperlihatkan ketegasannya terhadap para santri. selain menangani dan menghukum para santri yang melanggar, pak kiai ini sebagai ketua Lembaga Bahasa Arab di Pesantren. Lembaga ini yang mengelola program pengajaran bahasa arab untuk para santri. sehingga salah satu perarturan yang digagasnya adalah para santri diwajibkan untuk berbicara sehari-hari dengan bahasa arab.
Setelah mengucapkan salam didepan pintu rumah pak kiai, Rusman langsung disambut oleh suara khas dan lantang yang membuat para santri gemetar setiap mendengarnya. Suara tersebut tidak lain adalah pak kiai Salim.
Udkhul ya Rusman....(masuk wahai Rusman) sambut kiai itu dengan bahasa arab.
Toyyib, afwan ya syekh a’tadzir... kuntu al barih, khorojtu min hayyil ma’had bighairi idznikum (Mohon Maaf pak kiai... karena semalam saya keluar komplek tanpa izin). Suara Rusman merendah.
Oh ... limadza fa’alta kadzalik? (kenapa berbuat seperti itu). BalikTanya pak kiai kepada Rusman yang duduk tersimpuh depannya.
Li anni mabthun wa lazim bahtsu dawa ya syekh..( karena sakit perut, saya harus cari obat). Jawab kembali Rusman beralasan.
Toyyib..la taf’al dzalik tsaniyan. (jangan kamu lakukan itu lagi)! ya sudah kamu hati-hati kalau keluar malam-malam, nanti bisa-bisa ga bisa balik lagi. Lanjut pak kiai dengan wajah berseri. Menujukkan kesalahan Rusman dimaafkan.
Begini Rusman...Nanti malam ba’da isya ikut saya ke acara tablig akbar di kampung sebelah, sekalian kamu tolong siapin untuk baca Al-Qur’an di pembukaannya yah..jelas kiai itu sambil tersenyum. Memang buat Rusman kalau diajak kiai untuk menemaninya ke undangan ceramah bukan yang pertama kali.
Ternyata Rusman yang tadinya gelisah dan takut dihukum karena melanggar, menjadi lega bahkan senang rasanya dan berseri-seri karena kiainya malah mengajak ke undangan pengajian yang pastinya bakal ada makan enak. Wah lumayan perbaikan gizi nih.. pikir Rusman sambil tersenyum dalam hatinya.
Oh iyah Rusman, sekalian ana kasih tau kamu dari sekarang, bahwa kamu akan diberangkatkan ke Mesir untuk kuliah di sana. Ayah kamu juga sudah tahu dan setuju. Makanya dari sekarang, kamu siapkan segalanya, terutama bahasa arabnya lebih rajin lagi belajarnya yah ! lanjut pak kiai kepada Rusman yang kelihatan wajahnya tampak bingung, percaya tidak percaya kalau kiainya mengatakan itu.
Oh begitu syekh..insya Allah. komentar Rusman tidak panjang lebar, karena belum mengerti dan harus berkata apa kepada gurunya yang sudah percaya akan memberangkatkan dirinya yang serba kekurangan ke luar negeri, yaitu ke Al-Azhar Cairo-Mesir.
Ya sudah segitu saja, sekarang kamu boleh kembali ke asraman lagi. kata pak kiai menyudahi pembicaraanya dengan mengizinkan Rusman untuk kembali ke asramannya.
Toyyib syukron ya syekh... da’watakum ( mohon doanya). Pamit Rusman kepada kiainya, sambil menutup pintu rumahnya pelan-pelan.
Dengan jalan perlahan lahan penuh dengan rasa campur sari antara senang gembira dan bingung merenung, Rusman sudah sampai ke kamarnya yang sudah ditunggu oleh teman-teman sekamarnya. Mereka sangat penasaran apa yang terjadi dengan Rusman di rumahnya pak kiai. Tumben kamar seluas duapuluh lima meter persegi ini lengkap dengan sepuluh penghuninya. Merekapun bertanya apa hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari pak kiai.
Merekapun heran, kenapa Rusman kelihatannya tidak ada bekas dihukum oleh pak kiai. Malah mereka melihat Rusman dengan keadaan biasa saja, bahkan kelihatan muka Rusman berseri seri tapi terkadang kelihatan bingung.
Rus... kenapa? Tadi dihukumi apa sama pak kiai? Tanya Rafik teman dekatnya yang penuh penasaran.
Oh tidak, ana tidak dihukum apa-apa, malahan ana diajak ke undangan tablig akbar pak kiai nanti malam. Asyik kan? Kata Rusman kepada Rafik sambil tersenyum.
Oh gitu.... wah enak, perbaikan gizi dong kalau diajak ke undanganmah. Kata Rafik tambahnya.
Oh iyah dong. Sahut Rusman sambil mengepalkan jari-jari tangan kanannya pertanda tambah semangat.
Tapi ko lama sih kak, tadi di rumah pak kiai, ngobrol apa saja pak kiai? Tanya Miftah, teman sekamarnya yang masih duduk di kelas satu Aliyah.
Oh ngobrol biasa saja, ya biasa dinasihatin dan dikasih motivasi juga. Jawab Rusman, pertanyaan Miftah tadi.
Oh gitu ya kak, dikirain akan digundulin kepalanya. Timpal Miftah meyakinkan bahwa Rusman sebagai Kakak kelasnya tidak kena hukum apa-apa.
Akhirnya teman-teman sekamarnya itu kembali bubar meninggalkan kamarnya dengan tujuan masing-masing. Ada yang pergi ke msjid, ada yang pergi ke kamar mandi, ada juga yang pergi tempat cuci pakaian. Tinggallah di kamar berdua, yaitu dia dan Rafik teman dekatnya yang sama-sama duduk di kelas tiga Aliyah dan tahun terkahir di pesantrennya. Rusman yang dari tadi ditanya sama teman-teman sekamarnya, sebenarnya tidak begitu puas menjawabnya. Karena merasa tidak enak kalau diomongin semuanya apa yang terjadi dan omongkan oleh pak kiai tadi kepada semua teman sekamarnya. Tetapi setelah mereka yang delapan orang yang termasuk adik kelas bubar meninggalkan kamarnya, Rusman akhirnya mengeluarkan curhatannya kepada Rafik, karean teman dekatnya.
Fik.... sebenarnya ana tadi sehabis dipanggil oleh kiai itu, antara merasa senang gembira dan bingung merenung loh. Sambung Rusman kepada Rafik yang sedang merapihkan lemari bajunya.
Lah .. memang kenapa Rus, ada lagi yang diomongin kiai ke kamu? Langsung tanya Rafik penuh penasaran pada Rusman yang mukanya sudah mulai kelihatan bingung dan merasa cemas.
Iyah Fik.. ana bingung harus bilang apa yah, terutama kepada orangtuaku? Ungkap Rusman.
La iyah, kenapa dulu, anakan belum faham apa yang kamu rasakan, kalau kamu belum ngomong ada apa sebenarnya. Jawab Rafik sambil mendesak Rusman untuk menyampaikan alasan kebingungnnya.
Kata pak kiai, aku akan diberangkakan kuliah di Kairo Mesir untuk kuliah di Universitas Al-Azhar, Fik. Rusman mencoba mencurahkan perasaannya kepada teman dekatnya itu.
ke Al-Azhar Mesir? Wah hebat Rus...ya sudah, berarti kamu memang dipercaya untuk berangkat kuliah di sana. Berarti pak kiai, tahu kemampuanmu. Jelas Rafik memberikan dukungannya kepada Rusman yang kelihatan galau itu.
Tapi aku tahu diri Fik, kemampuan bahasa arabku juga tidak standar, apalagi bahasa inggris. Padahal bahasa arab yang menjadi modal utamanya, Fik. Disamping itu, orangtuaku apakah mampu membiayainya? Tambah Rusman keluhannya kepada Rafik.
Rus... yang penting kamu punya kesempatan dulu bisa kuliah di Mesir. Adapun kekurangan-kekurangan yang dianggap kamu penting itu, ya tentunya sambil disiapkan. Adapun tentang orangtuamu apakah mampu membiayaimu? Kamu harus ingat nasihat pak kiai waktu itu, orang yang sedang mencari ilmu pasti akan dimudahkan rizkinya. Kita harus yakin itu? Sambung Rafik. Kata-katanya sangat menusuk ke dalam hati Rusman, apalalgi dingatkan dengan nasihat pak Kiai Ali tentang rezekinya orang yang sedang mencari ilmu.
Iyah sih... jawab Rusman dengan singkat. Dalam pikirannya, betul juga apa yang dikatakan oleh temanya itu.
Dalam ingatannya, memang teringat nasihat pak kiai bahwa membiayai orang yang mencari ilmu itu adalah salah satu penyebabnya terbukanya pintu rezeki bagi seseorang di dunia dan pintu pahala jariyah di akhirat kelak. Orang yang sedang mencari ilmu sejatinya sebetulnya dia sedang bekerja untuk memberi manfaat untuk saudaranya. Ilmu yang dia dapatkan kelak ketika diajarkan akan bermanfaat menerangi gelapnya kebodohan dan memberikan manfaat bagi manusia.
Masih kata pak kiai yang selalu dia ingat adalah bahwa, Biasanya orang yang menghibahkan waktunya untuk ilmu, kesempatan untuk mencari penghidupan untuk diri dan keluarga hampir tidak ada. Bukan tidak mau berusah dan bekerja tetapi memang tidak ada kesempatan, sehingga harus ada yang menghendel kebutuhan hidup mereka selama menuntut ilmu.
Sehingga dikisahkan pada masa Rasulullah SAW, ada dua orang bersaudara, yang satu fokus menuntut ilmu dan yang satu lagi fokus untuk bekerja. Suatu hari, salah seorang diantara mereka datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadu, bahwa dia merasa keberatan, karena waktunya dihabiskan untuk sibuk membanting tulang mencari rezeki, sementara saudaranya hanya fokus untuk belajar dan menuntut ilmu, mendengar hadits, dan menimba illmu-ilmu syar’i dari Rasulullah SAW, sementara biaya semua kebutuhannya harus dia yang menanggung.
Mendengar pengaduan itu Rasulullah SAW berkata ; bisa jadi, kamu itu diberi rezeki justru karena saudaramu itu. Pada waktu itu, Rasulullah SAW tidak mengatakan; saudaramu itu lebih baik daripada kamu. Tapi Rasulullah SAW justru mengatakan kebaikan yang ada padanya (pencari rezeki) itu, datang karena dia menolong saudaranya yang belajar bersama Rasulullah SAW itu. Dengan kata lain, tidak perlu merasa menyesal atau dirugikan, baik yang membiayai dan yang dibiayai, semuanya punya peran masing-masing.
Bahkan ada ulama yang berpendapat bahwa makna hadits Rasulullah SAW dalam kalimat itu adalah; aku berharap (takut) jangan-jangan kamu diberi rezeki karena keberkahan saudaramu itu, bukan karena murni hasil keringatmu, maka jangan kamu ungkit-ungkit hal itu.
Bahkan ada hadits lain yang menjelaskan bahwa kaum dhu’afa (lemah) itu salah satunya adalah orang yang mempunyai totalitas menuntut ilmu. Merekalah salah satu sebab pertolongan Allah dan datangnya rezeki. Imam ibnu Hajar al-Asqalani dalam fathul Bari menjelaskan bahwa ditiolong dengan sebab doa-doa, shalat-shalat, dan keikhlasan mereka. Karena kaum dhu’afa adalah orang yang paling mudah untuk ikhlas, paling khusyu dalam beribadah dan hati mereka bersih dari keterkaitan dengan urusan dunia. Begitu juga dengan para penuntut ilmu, khususnya ilmu syar’i, doa-doa, shalat dan juga keikhlasan mereka adalah syarat mutalak untuk menperoleh ilmu.
Para penuntut ilmu itu sehari-harinya penuh dengan kesibukan dalam mengkaji ayat-ayat dan hadits-hadist, membaca kitab-kitab ulama, meneliti, menulis serta menganalisa berbagai hal, termasuk berfikir keras bagaimana caranya membantah berbagai syubhat (tuduhan) yang merebak dan beredar di tengah-tengah masyarakat. Semua itu bukan urusan sederhana dan sepele, tetapi semua itu perlu keihklasan dan tekad kuat untuk menjalaninya, juga harus merelakan manakala dirinya kehilangan bagian dunia.
Begitu beratnya tugas sebagai penuntut ilmu, dengan demikian wajar kalau orang yang menanggung biaya hidupnya selama menuntut ilmu akan mendapat cipratan keberkahan di dunia. Salah satunya dengan dilancarkan rezekinya ditambah pula pahala jariah yang akan meyusul di akhirat kelak.
Rusman yang dari tadi terlena dalam pikiranannya mengingat nasihat-nasihat pak kiai, mulai sadar dan tidak merasakan bahwa ternyata jam sudah hampir mau masuk waktu ashar, setelah melihat jam tangannya.
Diapun bergegas merapikan tempat lemari pakaian dan bukunya yang dari tadi berantakan kemudian menutup dan menguncinya. Suara kumandang adzanpun terdengar dari masjid pesantren yang begitu indah dan sangat mengesankan karena suara dan lagunya begitu istimewa dan mempunyai ciri khas tersendiri dari kumadang-kumandang adzan lainnya. Suara adzan dari sang Qari, H.Agus Saman itu, sudah menjadi ikon pesantren begitu juga kalau dia mengumandangkan iqomatnya, membuat semua santri terpesona mendengarnya.
Mang H.Agus, begitulah memanggilnya para santri. Dia seorang santri senior yang sudah menunaikan ibadah ini juga suka membimbing adik-adik santrinya. Selisih enam tahun dengan Rusman, karena dia sudah duduk di bangku kuliah Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) yang ada di pesantren. Diantara bimbingan yang dilakukan kepada adik-adik santrinya adalah mengajarkan tajiwid, tahsin dan naghom Al-Qur’an. Dia juga sangat dekat dengan pak Kiai, terutama pak kiai Salim yang selalu didampinginya setiap kali ada undangn ceramah di luar pesantren. Termasuk Rusman salah seorang adik santrinya yang dibimbing sama H. Agus ini, teruatama dalam tahsin dan nagom A-Qur’an. Makanya wajar kalau Rusman juga termasuk yang suka diajak sekali-kali oleh pak kiai untuk menemani setiap undangan ceramahnya, kalau H.Agus ini berhalangan. Karena satu satunya santrinya yang punya suara dan bakat dalam melantunkan Al-Qur’an.
Sebenarnya H. Agus ini mempunyai banyak teman-teman seangkatanya yang sudah keluar dari pesantren. Ada yang sudah mukim di kampungnya masing-masing, ada juga yang melanjutkan mondok ke pesantren lainnya, ada yang meneruskan kuliah IAIN, IKIP, dan ada juga yang melanjutkan kuliahnya ke Al-Azhar, Kairo-Mesir. Namun tidak tahu kenapa, beliau ini memilih mengabdi di pesantren almamaternya.
Mungkin ada satu keistimewann kkhusus yang sudah dirasakan oleh para santri sebelumnya yang sempat mengabdi di almamaternya sebelum mereka melanjutkan mondoknya ke pesantren lain, atau kuliah di tempat lain, dan bahkan sebelum mereka meniatkan untuk menetap tinggal di kampungnya untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatnya di pesantren ini. keberkahan dari para guru dan kiai inilah yang memang selalu didambakan oleh setiap santri di manapun.
Di pesantren, selalu diajarkan yang penting mencari berkah, bukan sekadar kepintarannya. Kalau sekadar pintar saja tetapi tidak berkah, maka ilmu tersebut akan menjadi malapetaka. Jadi berkah ini, sering kita jadikan tujuan hiudp di samping mencari ridlo Allah. Karena keberkahan membuat hidup menjadi bahagia.
Bertambah ilmu, umur, dan rezeki belum tentu mendapatkan berkah. Jika itu semua hanya menjadi kebanggaan diri, bukan untuk diajarkan kepada orang lain atau untuk menambah keimanan kepada Allah.
Jadi keberkahan bisa diraih dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan terus menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, seperti selalu bersyukur, qanaah, gemar bersadakah, dan berbakti kepada orangtua, dan lain-lain.
Diskusi